Kamis, 24 November 2011
KETUHANAN ALUKTA (Sebuah Sketsa)
SIKAP religius orang Toraja terutama tampak dalam ketaatannya kepada peraturan Aluk Sola Pemaliyang diterimanya dari nenek moyang mereka. Secara inderek pemikiran mereka adalah theosentris, sebab peraturan tersebut berasal dari zaman kejadian purba, sewaktu Puang Matua bersama dengan para dewi-dewi mengatur kehidupan manusia di bumi. Pada agama-agama besar kadang-kadang aspek theosentris begitu kuatnya, sehingga hubungan manusia dengan bumi tidak cukup dipikirkan atau bahkan terabaikan. Dengan demikian, munculah kelompok fundamentalis yang terlalu kuat mengarahkan perhatiannya kepada “eschaton” atau kehidupan di akhirat.
Penilaian yang salah terhadap keyakinan orang Toraja, bukan saja berdasarkan pada prasangka terlalu dini, melainkan sering juga pada observasi atau survei yang kurang teliti dan kurang mendalam. Hal seperti ini terjadi juga dalam penilaian terhadap ketuhanan mereka. Memang kalau kita berkeliling dan menyaksikan upacara-upacara ritual yang diadakan oleh orang Toraja, maka kita kan melihat tidak ada upacara khusus pada Puang Matua atau Puang To Kaubanan sebagai dewa tertinggi dalam keyakinan orang Toraja. Observasi dan survei tidaklah cukup. Sumber pengetahuan adalah mitos-mitos dan doa-doa dari upacara ritual. Tetapi karena tidak adanya upacara khusus kepada Puang Matua, timbul tanggapan karena pengaruh dari gagasan agama Kristen dan Islam, mereka menekankan peran dan kekuasaan satu Tuhan yang sudah pasti dan tertentu. Berikut ini akan dilihat, seluruh mitologi Puang Matua atau Puang To Kaubanan sungguh mendapat tempat khusus.
Dalam mitos-mitos yang menggambarkan situasi awal penciptaan alam semesta, Puang Matua memainkan peranan khusus. Pada waktu itu Puang Matua hidup di langit (tondok kabusungan) bersama-sam dengan dewa-dewa lainnya. Dia menciptakan manusia dan seluruh makhluk di alam semesta, mengatur cara hidup serta seluruh kehidupan ciptaan-Nya. Setelah semuanya selesai Dia menurunkan manusia (to manurun di langi) seluruh perlengkapannya, serta religi serba seratus (aluk sanda saratu’). Oleh karena ketidakmampuan manusia mengikuti aturan-aturan tersebut, terlalu jelimet, rumit, dan sanksinya sangat keras yaitu: sanksi mati (dipomate), disalib (dia’ta’), dipenggal (direre’), ditombak (dirouk), diadu habis-habisan (dipasipu’pu’), diadu tikam dalam selembar sarung (dipassiluang sambu’), inilah indikator utama sehingga aluk sanda saratu’, biasa juga disebut “aluk mate”, yang merujuk pada sanksi dan hukuman yang telalu berat terhadap setiap kesalahan atau pelanggaran. Kemudian Puang Matua, menurunkan lagi religi 7.777.777. (aluk sanda pitunna), yang merupakan perubahan dari “aluk sanda saratu” yang disederhanakan menjadi “aluk sanda pitunna”. Perubahan tersebut terletak pada jumlah struktur yang terlalu rinci dan sanksi hukuman yang sangat kaku dan menakutkan terhadap suatu kesalahan atau kelalaian, dalam “aluk sanda pitunna”, sisa hanya bernuansa 7 (tujuh) dan sanksi hukumannya menjadi lebih ringan, yaitu: diisolasi atau diasingkan (diali’), dikurung atau dipasung (diangla’) dan untuk kesalahan yang paling berat. Sedangkan untuk kesalahan yang agak ringan akan didenda material (didosa) seekor kerbau atau babi ataupun seekor ayam. Itulah sebabnya, sehingga “aluk sanda pitunna” juga disebut “aluk tuo” artinya aluk yang menghidupkan. Dalam pelaksanaannya masih dianggap terlalu berat dilakukan manusia bumi, maka To Manurun di Langi’ mengurangi jumlah rincian strukturnya dari 7.777.777. berkurang menjadi 7.777. yang dibawa turun ke bumi.
Dalam mitologi orang Toraja angka 7 (tujuh) merupakan suatu personofikasi dari simbol yang bernuansa makna pararel dengan langit atau “angka langit” mengisyratkan angka yang paling tinggi (sempurna) dalam perhitungan bilangan yang dimulai dari angka (issa’) sama dengan “satu”, (rua) sama dengan “dua”, angka (tallu) sama dengan “tiga”, angka (a’pa’) sama dengan “empat”, angka (lima) sama dengan “ lima”, angka (annan) sama dengan enam, dan angka (pitu’) sama dengan “tujuh”, dalam perhitungan bilangan angka nasional. Konon, bilangan angka “issa’”, “dua”, ”tallu” (1,2, dan 3) merujuk pada kelahiran putera sang langit dan dewi bumi yaitu: bilangan angka “satu” (issa’) merupakan simbol untuk dewa bawah bumi Pong Tulak Padang (dewa pendukung bumi), angka “dua” (dua atau rua) merupakan simbol untuk dewa bumi Pong Bangga I Rante (dewa pemangku bumi), angka “tiga” (tallu) merupakan simbol untuk dewa angkasa raya Gaun Tikembong (dewa penilik bumi). Selanjutnya, bilangan angka “empat” (a’pa’) adalah simbol untuk “alam semesta” (a’pa’ sulapa’), angka “lima” (lima) adalah simbol untuk Sang Mahadewa Puang Matua (dewa pencipta seluruh makhluk alam), angka “enam” adalah simbol angkara murka Lino’ (dewa perut bumi atau bumi) yang selalu mendatangkan bencana alam, angka “tujuh” (pitu) adalah simbol anugerah Batara Langi’(dewa langit dan angkasa raya). Sedangkan bilangan angka “ka-rua” (delapan) merujuk pada tahapan “kedua” atau babakan berikutnya sesudah puncak pertama di atas langit diberi konotasi modular makna pararel perulangan (binary) dengan pengertian “tak terhingga” (tang tisengo’) dipersonifikasi ke dalam sebuah ideogram “pa’ulu karua” sebagai modular untuk simbol ilmu pengetahuan yang “tak terbatas” jumlahnya. Kemudian, bilangan angka “ka-sera” (sembilan) merujuk pada kekuasaan sang khalik atau hal-hal peristiwa yang “sangat luar biasa” (liu….) atau kejadian yang “terlalu….” (tarru’…) dan tidak terjangkau oleh akal dan pikiran manusia sebagaimana halnya dengan “nasib” peruntungan dan kemalangan yang datang silih berganti pada kehidupan umat manusia.
Kini manusia sudah menerima religi (aluk) dan segala peraturan (pemali), yang mengurus kehidupannya. Bila orang-orang setia dan patuh kepada peraturan itu, maka sesudah hidup di bumi ini, ia akan menuju ke kehiduuupan abadi di alam baka tondok kabusungan atau tondok membali puang,tempat kediaman Sang Khalik Puang Matua. Di situ tempat tinggal abadi para arwah yang sudah diberi anugerah keselamatan dan diangkat menjadi dewa disebut “bombo mendeata” (roh yang sudah menjadi dewa). Titik sentral dalam kehidupan orang Toraja, bukan doa dan persembahan, melainkan sikap taat dan menuruti teladan nenek moyang. Juga ibadat yang ditujukan kepada Puang Matuasangat sederhana. Pada sejumlah upacara ritual, baik dalam “rambu tuka’” maupun “rambu solo’”, namanya disebut pada awal ibadat bersama dengan nama roh-roh lain yang penting. Pada kesempatan itu, dipersembahkan sesaji (pesung sangiampa) sebatang lemang dari beras unggul (pare kasalle) atau nasi pulut kuning.
Sesudah menurunkan manusia ke bumi dengan seluruh perlengkapan hidupnya beserta aluk sola pemali yang mengatur kehidupan manusia. Timbul kesan seolah-olah peranan Puang Matuasudah selesai dan tidak campur tangan lagi. Maka dalam kehidupan sehari-hari roh-roh yang dapat mempengaruhi kehidupan umat manusia (deata buletuk), entah karena ingin mengganggu manusia, entah karena mau menghukum manusia, mendapat perhatian besar. Akan tetapi, kesadaran yang sudah terpatri bahwa Puang Matua ialah dewa yang tertinggi, tetap ada dan melekat dalam sanubari orang-orang Toraja.
Demikianlah seluruh rangkaian mitos merupakan sebuah proses lingkaran siklus yang dimulai dan ditutup oleh Puang Matua yang menciptakan manusia, yang memberi kehidupan dan akhirnya kembali juga kepada-Nya. Dengan kata lain, bahwa Puang Matua itu adalah yang awal (Ia umpana’ta’i), dan ialah yang akhir (Ia duka umpodokki) yang kekal kembali kekal (busung kale lu tama kabusunganna); dalam kehadirannya hiduplah para arwah (bombo mendeata). Dan mereka yang sempurna kehidupannya (sundun rongko’na), akan memperoleh kehidupan bahagia, di dalam damai sentosa yang kekal untuk selama-lamanya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar